Beranda | Artikel
Perbedaan antara Bidah dan Maksiat (Bag. 2)
Kamis, 4 November 2021

Baca seri sebelumnya: Perbedaan antara Bid’ah dan Maksiat (Bag. 1)

Perbedaan Keempat

Ahlul bid’ah bisa jadi akan menghalangi manusia dari jalan syariat-Nya yang lurus. Sedangkan orang yang berbuat maksiat tidaklah demikian. Hal ini karena kerusakan ahlul bid’ah itu terjadi pada pokok agama, sedangkan kerusakan pelaku maksiat lebih terletak pada syahwatnya.

Perbedaan Kelima

Karena kerusakan ahlul bid’ah itu terletak pada pokok agama, maka dampaknya akan terjadi pada agama. Adapun pelaku maksiat, karena kerusakan terjadi karena syahwatnya, maka dampaknya lebih berdampak kepada dirinya sendiri.

Perbedaan Keenam

Bid’ah itu lebih khusus (lebih spesifik) daripada maksiat. Karena bid’ah adalah perbuatan maksiat dengan membuat-buat perkara baru untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Adapun istilah maksiat, ketika tidak ada keterangan tambahan, dimaksudkan untuk semua pelanggaran tanpa harus disertai dengan perbuatan membuat-buat perkara baru dalam agama.

Bantahan untuk yang mengatakan bahwa hadis tentang bid’ah dimaknai sebagai larangan bermaksiat secara umum

Berdasarkan penjelasan di atas, tidak benar anggapan sebagian orang bahwa hadis-hadis yang khusus menyebutkan bid’ah maknanya dibawa kepada makna maksiat secara umum. Misalnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Setiap bid’ah adalah kesesatan.” (HR. Muslim no. 867)

Sebagian orang memaknai “bid’ah” dalam hadis tersebut sebagai perbuatan zina, riba, mencuri, suap menyuap, dan sejenisnya.

Hadis “setiap bid’ah adalah kesesatan” itu bersifat umum (mencakup semua jenis bid’ah) sejak pertama kali Nabi shallallahu ‘alahi wasallam mengucapkan perkataan tersebut. Bukan hanya dimaksudkan untuk bid’ah yang terdapat dalil khusus (spesifik) pelarangannya saja. Sedangkan bid’ah yang tidak ada dalil larangan khususnya tidak tercakup dalam hadis tersebut. Ini adalah pemahaman yang keliru.

Baca Juga: Bantahan Telak Bagi Pelaku Bid’ah

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Tidak boleh memaknai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan bid’ah yang ada dalil larangan lain secara khusus (spesifik). Karena pemaknaan semacam ini akan membatalkan faidah dari hadis tersebut. Karena perkara yang dilarang, misalnya kekafiran, kefasikan, dan berbagai jenis maksiat, telah diketahui bahwa perkara tersebut adalah perkara yang buruk dan diharamkan, baik termasuk (dalam definisi) bid’ah ataukah tidak.

Kalau tidak ada perkara munkar dalam agama kecuali perkara yang dilarang secara spesifik, baik itu yang dikerjakan semasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ataukah tidak, dan perkara yang dilarang (secara spesifik tersebut) itulah (definisi) kemunkaran, baik itu (termasuk) bid’ah ataukah bukan bid’ah, maka istilah “bid’ah” tersebut menjadi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dampaknya, keberadaan suatu bid’ah tidaklah menunjukkan keburukan, sebagaimana tidak adanya bid’ah tidaklah menunjukkan kebaikan.

Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, itu semakna dengan perkataan (misalnya), “semua adat kebiasaan adalah kesesatan” atau “semua yang dilakukan oleh orang Arab dan non-Arab adalah kesesatan”. Sehingga yang dimaksud dengan perkataan beliau tersebut adalah bahwa perkara yang dilarang tersebut (yaitu semua bid’ah) adalah kesesatan.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim, 2: 588)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah kemudian memberikan bantahan kepada orang-orang yang memaknai hadis, “setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan “bid’ah atau maksiat yang ada larangan spesifik” dalam beberapa poin bantahan berikut ini.

Pertama, kalau dimaknai seperti itu, hadis tersebut menjadi tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Karena untuk perkara yang ada larangan spesifik, sudah diketahui hukumnya dari dalil larangan yang bersifat spesifik tersebut. Sedangkan yang tidak ada dalil larangan secara spesifik, tidak tercakup dalam makna hadis ini. Sehingga kalau dimaknai seperti itu, hadis ini menjadi tidak ada faidahnya. Padahal, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu memiliki jawami’ al-kalim (perkataan yang ringkas dan singkat, namun sarat dengan makna dan faidah).

Kedua, kalau dimaknai seperti itu, kata “bid’ah” menjadi tidak ada pengaruhnya sama sekali. Sehingga ketika kita mengaitkan suatu perkara dengan hukum bid’ah, itu juga menjadi tidak ada pengaruhnya. Hal ini karena perkara maksiat dan dosa itu sudah kita kenal nama atau bentuknya, seperti mencuri, berzina, dan minum khamr. Jika yang dimaksud dengan maksiat tersebut adalah sama dengan bid’ah, maka kata “bid’ah” tidak lagi memiliki keisitimewaan disebutkan secara khusus, karena tidak ada konsekuensi tambahan apapun.

Ketiga, jika perkataan dengan lafaz semacam ini (“semua bid’ah adalah kesesatan”), namun sebenarnya maksud pembicara adalah “bid’ah atau maksiat yang ada larangan spesifik”, ini adalah bentuk menyembunyikan maksud tertentu yang seharusnya wajib dijelaskan secara gamblang. Atau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan suatu perkataan, namun yang beliau maksudkan bukanlah makna yang langsung tertangkap dalam benak orang yang mendengar. Karena antara bid’ah dan perkara yang dilarang (maksiat) itu ada sisi umum dan sisi khusus. Yaitu, tidak semua bid’ah itu ada dalil larangan yang bersifat spesifik. Dan tidak semua yang ada larangan spesifik itu berarti bid’ah, seperti larangan berbuat zina.

Oleh karena itu, jika seseorang mengucapkan perkataan di atas (“semua bid’ah adalah kesesatan”), namun yang dimaksudkan adalah makna yang lain, tentu saja hal ini merupakan perkataan yang rancu dan tidak jelas. Seperti ada orang yang mengatakan “hitam”, tapi yang dia maksudkan adalah “kuda”; atau sebaliknya, mengatakan “kuda”, tapi yang dia maksudkan adalah “hitam”. Dan mustahil bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan hal semacam ini.

Keempat, jika perkataan “semua bid’ah adalah kesesatan” dimaknai dengan perkara yang ada dalil larangan secara khusus, maka konsekuensinya, hadis ini sulit untuk diamalkan. Karena untuk mengamalkan hadis ini, berarti kita harus mengetahui semua dalil spesifik yang melarang suatu perkara. Atau, tidak mungkin mengetahui sebagian besar dalil spesifik tersebut kecuali hanya kaum muslimin tertentu saja, yaitu para ulama yang sangat dalam dan luas ilmunya.

Kelima, jika kita teliti, bid’ah yang ada dalil larangan yang bersifat spesifik itu jumlahnya lebih sedikit daripada bid’ah yang tidak ada dalil larangan yang bersifat spesifik.  Sehingga, suatu lafaz (perkataan) yang bersifat umum, tidak boleh dimaknai kepada suatu makna (bentuk tertentu) yang jumlahnya hanya sedikit.

Berdasarkan penjelasan poin-poin bantahan di atas, jelaslah bahwa memaknai hadis tentang bid’ah dengan makna “bid’ah atau maksiat yang ada dalil larangan secara khusus” adalah pemaknaan (takwil) yang keliru.

Perbedaan-perbedaan antara bid’ah dengan maksiat yang telah dijelaskan pada seri sebelumnya menunjukkan betapa besar bahaya bid’ah dan dampak jelek dari bid’ah tersebut. Demikian juga para ulama terdahulu yang bersikap keras agar tidak berteman akrab dengan ahlul bid’ah. Sampai-sampai Sa’id bin Jubair rahimahullah, salah seorang ulama tabi’in mengatakan,

“Ketika anakku bersahabat dengan orang fasik yang buruk, namun ahlus sunnah, itu lebih aku sukai daripada berteman dengan ahlul bid’ah yang gemar beribadah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Bathah rahimahullah dalam Al-Ibaanah Ash-Shughra, hal. 132).

[Bersambung]

Baca Juga:

***

@Rumah Kasongan, 17 Rabi’ul awwal 1442/ 24 Oktober 2021

Oleh seorang hamba yang sangat butuh ampunan Rabb-nya,

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/69813-perbedaan-bidah-dan-maksiat-bag-2.html